Minggu, 19 Mei 2019

10 Alasan Matematika Dianggap Sulit


Cerita Klasik, Matematika dianggap sulit !



Ini adalah semacam potret, baik itu muncul dibalik cerita maupun fakta yang berhasil dieksplorasi melalui riset. Tak heran jika keadaan ini senantiasa ditemui hampir di setiap pengantar sebuah proposal penelitian yang diajukan oleh seorang mahasiswa pendidikan Matematika ketika hendak meneliti dan ini berlangsung dari masa ke masa. Jika ditelusuri lebih jauh, di sini ada pemahaman yang putus terhadap Matematika itu sendiri, dan ini ada yang ditemui pada anak dan ada juga yang ditemui di kalangan Masyarakat. Bayangkan saja!!, yang terpatri di benak anak ketika disebutkan nama Matematika, adalah RUMUS atau istilah lainnya FORMULA. Seorang anak atau peserta didik terkadang lebih memilih duduk di pojok belakang ruangan kelasnya ketika sedang berlangsung pembelajaran Matematika, justru karena “FOBIA RUMUS”. Bahkan ada yang mengambil posisi menyelinap di antara teman-temannya, guna menghindar dari perhatian guru Matematika, ini juga lantaran “TAKUT RUMUS”.


Terlalu sulit bagi mereka ketika mendengar rumus Matematika, karena biasanya bagi mereka rumus itu pasti semacam hitungan pelik dan kompleks yang sarat dengan hafalan-hafalan. Ini tentunya merupakan pemahaman yang keliru terhadap Matematika, lebih parah lagi jika ini sudah membingkai dan terpola hampir di setiap benak anak didik. Jangankan anak setingkat SMA, di SD pun, momok Matematika sudah mewabah, menyebabkan anak-anak yang seharusnya menguasai pola dasar Matematika sejak dini, justru berbalik tidak suka dengan Matematika. Lalu wabah ini perlahan-lahan muncul di tengah-tengah masyarakat.
Para orang tua seringkali menghindarkan anak-anaknya memilih jurusan eksakta atau Matematika saat hendak ke perguruan tinggi. Pilihan ini dianggap terbaik, karena jurusan eksakta terkesan sulit dan bisa-bisa saja menyebabkan anak putus kuliah. Entah dari mana pemahaman ini berasal sehingga kondisi di berbagai perguruan tinggi pun turut memberikan gambaran di mana jurusan-jurusan non eksakta terlihat lebih ramai diminati mahasiswa, ketimbang jurusan eksakta.
Semua gambaran di atas Tentu harus dicarikan solusinya agar persepsi Matematika bisa kembali ke rel yang sebenarnya. Dalam menyikapi hal ini, maka pelajaran Matematika seharusnya dipandang secara obyektif, agar Matematika tidak kehilangan sifat netralnya. Belum lagi masalah lain muncul dari oknum guru yang keliru memproyeksikan Matematika di hadapan anak-anaknya, lantaran salah dalam memilih metode pembelajaran, menyebabkan Matematika jadi tak menyenangkan untuk di pelajari. Guru seringkali tampil sebagai sosok yang “killer”, galak, cepat marah, suka menghukum, garang, terlalu cepat menyampaikan pelajaran dan monoton. Revisi muatan kurikulum yang tak kunjung usai, juga turut andil dalam persoalan ini, padahal urusan kurikulum yang diberlakukan di suatu Negara seperti Indonesia saat ini, tentu saja tidak sembarangan, karena kurikulum faktanya merupakan produk para pakar pendidikan. Beberapa mitos negatif masyarakat terhadap Matematika yang perlu diklarifikasi:
1.      Anggapan bahwa untuk mempelajari Matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang
Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk dapat mempelajari Matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang tinggi, akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi untuk belajar Matematika
2.      Bahwa Matematika adalah ilmu berhitung
Hal ini perlu diklarifikasi walaupun Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat dihindari ketika belajar Matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan isi Matematika. Selain mengerjakan penghitungan-penghitungan, orang juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan suatu cara tertentu
3.      Bahwa Matematika hanya menggunakan otak
Hal ini perlu diklarifikasi karena Aktivitas Matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak.Namun, logika dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat berkembang, Matematika sangat membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas dalam Matematika menyangkut akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi mengenai hal-hal yang benar. Para Matematikawan biasanya mulai mengerjakan penelitian dengan menggunakan intuisi, dan kemudian berusaha membuktikan bahwa intuisi itu benar
4.      Bahwa yang paling penting dalam Matematika adalah jawaban yang benar
Jawaban yang benar memang penting dan harus diusahakan.Klarifikasi dari perspektif ini adalah bahwa yang lebih penting sebenarnya bagaimana memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain, dalam menyelesaikan persoalan Matematika, yang lebih penting adalah proses, pemahaman, penalaran, dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan tersebut sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar.
5.      Bahwa kebenaran Matematika adalah kebenaran mutlak
Kebenaran dalam Matematika sebenarnya bersifat nisbi.Kebenaran Matematika tergantung pada kesepakatan awal yang disetujui bersama yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan bahwa tidak ada kebenaran (truth) dalam Matematika, yang ada hanyalah keabsahan (validity), yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan manusia pada umumnya
6.      Guru yang membosankan
Matematika adalah pelajaran angka. Jika seorang guru hanya terpaku pada angka dan rumus baku, maka jalannya proses belajar akan terasa membosankan. Kalau sudah begini, siswa akan bosan, ngantuk, dan tak lagi fokus pada pelajaran. Apalagi saat sekolah dasar (SD) dulu, satu guru mengajarkan banyak pelajaran, salah satunya matematika. Jika guru tersebut juga kurang suka matematika, bisa dipastikan suasana pembelajaran akan terasa membosankan. Padahal masa-masa SD adalah tahapan dasar untuk membentuk pondasi pola pikir dalam memandang suatu pelajaran.
7.      Tidak ada jalan ceritanya, yang ada hanya angka dan angka
Setiap orang suka bercerita. Apalagi jika kisah itu bagus, pasti banyak orang yang mau mendengarkannya. Namun seringkali guru matematika tidak menambahkan cerita ketika sedang mengajar. Alhasil, matematika terasa membosankan. Membangun cerita ketika sedang mempelajari sesuatu adalah metode yang kerap dipakai untuk mengajar. Hampir semua mata pelajaran punya kisah yang dapat diceritakan. Namun matematika tetaplah pelajaran logika dan fakta, tidak semuanya mengandung cerita menarik. Terlebih jika diajarkan pada anak usia dini, mereka akan cepat bosan.
8.      Tidak bisa dihapalkan
Hampir semua pelajaran memiliki metode pembelajaran dengan hapalan, contohnya Sejarah, Biologi, Geografi, atau Bahasa Inggris. Lain halnya dengan matematika. Meskipun kamu sudah hapal rumus-rumusnya di luar kepala, belum tentu penerapannya berjalan mulus. Setiap hari kamu mungkin sudah latihan menggunakan berbagai jenis rumus, namun ketika ujian tiba, kamu nggak bakal menemui soal yang sama. Rumus boleh sama, tapi soalnya beda. Itulah matematika.
9.      Terpengaruh omongan hater Matematika
Alasan utama kenapa banyak orang benci dengan matematika adalah karena mereka terpengaruh omongan orang lain. Secara tidak langsung, otakmu akan tersugesti oleh omongan negatif terhadap mata pelajaran ini. Orangtuamu mungkin pernah bilang begini, "Ayah dulu pelajaran matematika cuma dapat nilai 5!" Sementara itu, kakakmu mengatakan," Guru matematikaku dulu killer dan pelit nilai banget." Ucapan-ucapan miring seputar matematika tersebut bakal membuatmu ikut-ikutan tidak suka kepada mata pelajaran yang satu ini.
10.  Takut disalahkan jika berbuat salah
Jangan takut berbuat salah. Mungkin kamu sering mendengar ungkapan tersebut. Namun bagi anak-anak, salah tetaplah salah dan mereka bakal menganggapnya sebagai sesuatu yang serius dan kepikiran terus-menerus. Kalau tidak diberikan pemahaman yang tepat, anak-anak akan berhenti mencoba ketika mereka berbuat salah. Mereka akan takut disalahkan ketika berbuat salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lingkar Santri (Satuan Trigonometri)

LINGKAR SANTRI (SATUAN TRIGONOMETRI) Sekarang kita akan memahami konsep trigonometri berdasarkan lingkaran satuan. Apa itu lingkaran s...