Cerita Klasik, Matematika dianggap
sulit !
Ini adalah semacam potret, baik itu
muncul dibalik cerita maupun fakta yang berhasil dieksplorasi melalui riset.
Tak heran jika keadaan ini senantiasa ditemui hampir di setiap pengantar sebuah
proposal penelitian yang diajukan oleh seorang mahasiswa pendidikan Matematika
ketika hendak meneliti dan ini berlangsung dari masa ke masa. Jika ditelusuri
lebih jauh, di sini ada pemahaman yang putus terhadap Matematika itu sendiri,
dan ini ada yang ditemui pada anak dan ada juga yang ditemui di kalangan
Masyarakat. Bayangkan saja!!, yang terpatri di benak anak ketika disebutkan
nama Matematika, adalah RUMUS atau istilah lainnya FORMULA. Seorang anak atau
peserta didik terkadang lebih memilih duduk di pojok belakang ruangan kelasnya
ketika sedang berlangsung pembelajaran Matematika, justru karena “FOBIA RUMUS”.
Bahkan ada yang mengambil posisi menyelinap di antara teman-temannya, guna
menghindar dari perhatian guru Matematika, ini juga lantaran “TAKUT RUMUS”.
Terlalu sulit bagi mereka ketika
mendengar rumus Matematika, karena biasanya bagi mereka rumus itu pasti semacam
hitungan pelik dan kompleks yang sarat dengan hafalan-hafalan. Ini tentunya
merupakan pemahaman yang keliru terhadap Matematika, lebih parah lagi jika ini
sudah membingkai dan terpola hampir di setiap benak anak didik. Jangankan anak setingkat
SMA, di SD pun, momok Matematika sudah mewabah, menyebabkan anak-anak yang
seharusnya menguasai pola dasar Matematika sejak dini, justru berbalik tidak
suka dengan Matematika. Lalu wabah ini perlahan-lahan muncul di tengah-tengah
masyarakat.
Para orang tua seringkali menghindarkan
anak-anaknya memilih jurusan eksakta atau Matematika saat hendak ke perguruan
tinggi. Pilihan ini dianggap terbaik, karena jurusan eksakta terkesan sulit dan
bisa-bisa saja menyebabkan anak putus kuliah. Entah dari mana pemahaman
ini berasal sehingga kondisi di berbagai perguruan tinggi pun turut memberikan
gambaran di mana jurusan-jurusan non eksakta terlihat lebih ramai diminati
mahasiswa, ketimbang jurusan eksakta.
Semua gambaran di atas Tentu harus
dicarikan solusinya agar persepsi Matematika bisa kembali ke rel yang
sebenarnya. Dalam menyikapi hal ini, maka pelajaran Matematika seharusnya
dipandang secara obyektif, agar Matematika tidak kehilangan sifat netralnya. Belum lagi
masalah lain muncul dari oknum guru yang keliru memproyeksikan Matematika di
hadapan anak-anaknya, lantaran salah dalam memilih metode pembelajaran,
menyebabkan Matematika jadi tak menyenangkan untuk di pelajari. Guru seringkali
tampil sebagai sosok yang “killer”, galak, cepat marah, suka menghukum, garang,
terlalu cepat menyampaikan pelajaran dan monoton. Revisi muatan kurikulum
yang tak kunjung usai, juga turut andil dalam persoalan ini, padahal urusan
kurikulum yang diberlakukan di suatu Negara seperti Indonesia saat ini, tentu
saja tidak sembarangan, karena kurikulum faktanya merupakan produk para pakar
pendidikan. Beberapa
mitos negatif masyarakat terhadap Matematika yang perlu diklarifikasi:
1.
Anggapan
bahwa untuk mempelajari Matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak
dimiliki setiap orang
Kebanyakan orang berpandangan bahwa
untuk dapat mempelajari Matematika diperlukan memiliki kecerdasan yang tinggi,
akibatnya yang merasa kecerdasannya rendah mereka tidak termotivasi untuk
belajar Matematika
2.
Bahwa Matematika
adalah ilmu berhitung
Hal ini perlu diklarifikasi walaupun
Kemampuan berhitung dengan bilangan-bilangan memang tidak dapat dihindari
ketika belajar Matematika. Namun, berhitung hanya merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan isi Matematika. Selain mengerjakan penghitungan-penghitungan, orang
juga berusaha memahami mengapa penghitungan itu dikerjakan dengan suatu cara
tertentu
3.
Bahwa Matematika
hanya menggunakan otak
Hal ini perlu diklarifikasi karena
Aktivitas Matematika memang memerlukan logika dan kecerdasan otak.Namun, logika
dan kecerdasan saja tidak mencukupi. Untuk dapat berkembang, Matematika sangat
membutuhkan kreativitas dan intuisi manusia seperti halnya seni dan sastra. Kreativitas
dalam Matematika menyangkut akal-budi, imajinasi, estetika, dan intuisi
mengenai hal-hal yang benar. Para Matematikawan biasanya mulai mengerjakan
penelitian dengan menggunakan intuisi, dan kemudian berusaha membuktikan bahwa
intuisi itu benar
4.
Bahwa
yang paling penting dalam Matematika adalah jawaban yang benar
Jawaban yang benar memang penting dan
harus diusahakan.Klarifikasi dari perspektif ini adalah bahwa yang lebih
penting sebenarnya bagaimana memperoleh jawaban yang benar. Dengan kata lain,
dalam menyelesaikan persoalan Matematika, yang lebih penting adalah proses,
pemahaman, penalaran, dan metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan
tersebut sampai akhirnya menghasilkan jawaban yang benar.
5.
Bahwa
kebenaran Matematika adalah kebenaran mutlak
Kebenaran dalam Matematika sebenarnya
bersifat nisbi.Kebenaran Matematika tergantung pada kesepakatan awal yang
disetujui bersama yang disebut ‘postulat’ atau ‘aksioma’. Bahkan ada anggapan
bahwa tidak ada kebenaran (truth) dalam Matematika, yang ada hanyalah keabsahan
(validity), yaitu penalaran yang sesuai dengan aturan logika yang digunakan
manusia pada umumnya
6. Guru yang membosankan
Matematika adalah pelajaran angka. Jika
seorang guru hanya terpaku pada angka dan rumus baku, maka jalannya proses
belajar akan terasa membosankan. Kalau sudah begini, siswa akan bosan, ngantuk,
dan tak lagi fokus pada pelajaran. Apalagi saat sekolah dasar (SD) dulu, satu
guru mengajarkan banyak pelajaran, salah satunya matematika. Jika guru tersebut
juga kurang suka matematika, bisa dipastikan suasana pembelajaran akan terasa
membosankan. Padahal masa-masa SD adalah tahapan dasar untuk membentuk pondasi pola
pikir dalam memandang suatu pelajaran.
7. Tidak ada jalan ceritanya, yang ada
hanya angka dan angka
Setiap orang suka bercerita. Apalagi
jika kisah itu bagus, pasti banyak orang yang mau mendengarkannya. Namun
seringkali guru matematika tidak menambahkan cerita ketika sedang mengajar.
Alhasil, matematika terasa membosankan. Membangun cerita ketika sedang
mempelajari sesuatu adalah metode yang kerap dipakai untuk mengajar. Hampir
semua mata pelajaran punya kisah yang dapat diceritakan. Namun matematika tetaplah
pelajaran logika dan fakta, tidak semuanya mengandung cerita menarik. Terlebih
jika diajarkan pada anak usia dini, mereka akan cepat bosan.
8.
Tidak bisa dihapalkan
Hampir
semua pelajaran memiliki metode pembelajaran dengan hapalan, contohnya Sejarah,
Biologi, Geografi, atau Bahasa Inggris. Lain halnya dengan matematika. Meskipun
kamu sudah hapal rumus-rumusnya di luar kepala, belum tentu penerapannya
berjalan mulus. Setiap hari kamu mungkin sudah latihan menggunakan berbagai jenis
rumus, namun ketika ujian tiba, kamu nggak bakal menemui soal yang sama. Rumus
boleh sama, tapi soalnya beda. Itulah matematika.
9. Terpengaruh omongan hater Matematika
Alasan
utama kenapa banyak orang benci dengan matematika adalah karena mereka
terpengaruh omongan orang lain. Secara tidak langsung, otakmu akan tersugesti
oleh omongan negatif terhadap mata pelajaran ini. Orangtuamu mungkin pernah
bilang begini, "Ayah dulu pelajaran matematika cuma dapat nilai 5!"
Sementara itu, kakakmu mengatakan," Guru matematikaku dulu killer dan
pelit nilai banget." Ucapan-ucapan miring seputar matematika tersebut
bakal membuatmu ikut-ikutan tidak suka kepada mata pelajaran yang satu ini.
10. Takut disalahkan jika berbuat salah
Jangan
takut berbuat salah. Mungkin kamu sering mendengar ungkapan tersebut. Namun
bagi anak-anak, salah tetaplah salah dan mereka bakal menganggapnya sebagai
sesuatu yang serius dan kepikiran terus-menerus. Kalau tidak diberikan
pemahaman yang tepat, anak-anak akan berhenti mencoba ketika mereka berbuat
salah. Mereka akan takut disalahkan ketika berbuat salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar