DARI “I HATE MATHEMATIC” MENJADI “I
LOVE MATHEMATIC”
Selanjutnya
bagaimana Pentingnya Sejarah Matematika bisa membalikkan mitos negatif tentang
Matematika yang selama ini berkembang massif di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa kebanyakan sikap negatif terhadap Matematika timbul karena kesalahpahaman atau pandangan yang keliru mengenai Matematika.
Sebagaimana yang dikemukakan Frans Susilo dalam artikelnya di Majalah BASIS yang berjudul Matematika Humanistik, bahwa kebanyakan sikap negatif terhadap Matematika timbul karena kesalahpahaman atau pandangan yang keliru mengenai Matematika.
Mari kita
lihat bagaimana Pentingnya memahami sejarah Matematika bisa merubah keadaan
ini! Radford
(1996) menyatakan bahwa konstruksi konsep-konsep Matematika berdasarkan sejarah
dapat membantu memberikan pengetahuan tentang bagaimana pemikiran siswa dalam
membangun pengetahuan mereka tentang Matematika. Beberepa peneliti juga
meyarankan tentang penggunaan sejarah dalam pembelajaran metematika (Fauvel
& Van Maanen, 2000; Radford, 2000; Katz, 2000).
Implementasi
sejarah matematika di sekolah Banyak manfaat yang dapat diambil
dari penggunaan sejarah Matematika dalam pembelajaran. Fauvel (dalam
Sumardyono, 2012) menyatakan terdapat tiga dimensi besar pengaruh positif
sejarah Matematika dalam proses belajar siswa:
a.
Understanding (pemahaman)
Sebenarnya setiap anak didik memiliki
dasar kemampuan untuk memahami Matematika. Hanya saja dalam proses belajar
selanjutnya mungkin saja menghadapi hambatan dan keterbatasan sehingga siswa
menganggap bahwa pelajaran Matematika itu sulit. Sesuai dengan tujuan diberikannya Matematika di
sekolah, kita dapat melihat bahwa Matematika sekolah memegang peranan sangat
penting. Anak didik memerlukan Matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dapat berhitung,
dapat menghitung isi dan berat, dapat mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan
menafsirkan data, dapat menggunakan kalkulator dan komputer.
Selain itu, agar mampu mengikuti
pelajaran Matematika lebih lanjut, membantu memahami bidang studi lain seperti
fisika, kimia, arsitektur, farmasi, geografi, ekonomi, dan sebagainya, dan agar
para siswa dapat berpikir logis, kritis, dan praktis, beserta bersikap positif
dan berjiwa kreatif.
Ini berarti Matematika bukan hanya
sekedar tuntutan kurikulum yang gugur sesaat setelah melaksanakan pembelajaran,
namun lebih dari itu Matematika sudah merupakan sebuah kebutuhan. Perspektif
pemahaman ini yang harus dibangun untuk membangkitkan motivasi anak-anak didik
untuk belajar Matematika. Dengan ini Matematika malah jadi menyenangkan bukan
sebaliknya jadi momok di mata anak-anak.
b.
Enthusiasm (antusiasme)
Sejarah Matematika memberikan sisi
aktivitas manusia dan tradisi/ kebudayaan manusia. Sebuah teorema maupun rumus
yang sederhana maupun yang kompleks dalam pembelajaran Matematika bukanlah
sesuatu yang kebetulan, namun segalanya lahir di tengah-tengah peradaban
tradisi manusia yang secara kolektif dikumpulkan dalam suatu wadah ilmu
Matematika. Sampai dengan hari ini, belum ada satu pun yang mampu membantah
keberadaan dan kegunaan torema yang dilahirkan oleh tokoh-tokoh seperti, Thales
(624 SM– ), Pythagoras (582 SM– ), Euclides (300 SM– ), Archimedes (287–212
SM), Apollonius (260–190 SM), Diophantus (250 SM– ), Liu Hui (abad ke-3 M), Tsu
Chung Cih atau Zu Chong Zhi (480– ), Seki Kowa (abad ke-17), Aryabhata (abad
ke-6), Brahmagupta (628 M–), Bhaskara (1114–1185), al-Khowarizmi (825– ),
Tsabit ibn Qorra (836–901), al-Karkhi atau al-Karaji (1020– ), Omar Khayyam
(1050–1125), al-Kasyi atau al-Kashi (abad ke-15), Fibonacci (1180–1250),
Cardano (1501-1576), John Napier (1550-1617), Descartes (1596-1650), Blaise
Pascal (1623–1662), Newton (1642–1727), Euler (1707–1783), Gauss (1777–1855).
Lalu, oleh para developer teknologi
modern memanfaatkan teorema-teorema ini, sehingga diciptakanlah semacam gadget,
ponsel, aplikasi, jaringan internet, satelit yang bisa mengorbit di angkasa,
pesawat terbang, kapal laut, yang semuanya itu menggunakan kaidah Matematika. Yakinlah bahwa
pada sisi ini, siswa merasa menjadi bagiannya sehingga menimbulkan antusiasme
dan motivasi tersendiri.
c.
Skills (keterampilan)
Bukankah seorang programmer yang
profesional sangat menguasai Matematika? Lalu seorang Pilot pesawat juga harus
mahir Matematika karena dituntut kemampuan navigasi dan ketelitian? Bahkan
skill matematis mutlak harus dimiliki seseorang dalam hidup dan berinterkasi sosial.
Semua itu tentu tak lepas dari sejarah peradaban ilmu Matematika.
Namun Yang dimaksud Fauvel bukan keterampilan matematis semata, tetapi keterampilan dalam hal: keterampilan research dalam menata informasi, keterampilan menafsirkan secara kritis berbagai anggapan dan hipotesis, keterampilan menulis secara koheren, keterampilan mempresentasikan kerja, dan keterampilan menempatkan dan menerima suatu konsep pada level yang berbeda-beda. Keterampilan-keterampilan di atas jarang diantisipasi dalam pembelajaran konvensional/tradisional Furinghetti (dalam Sumardyono, 2012) menyarankan suatu taksonomi penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran, sbb:
Namun Yang dimaksud Fauvel bukan keterampilan matematis semata, tetapi keterampilan dalam hal: keterampilan research dalam menata informasi, keterampilan menafsirkan secara kritis berbagai anggapan dan hipotesis, keterampilan menulis secara koheren, keterampilan mempresentasikan kerja, dan keterampilan menempatkan dan menerima suatu konsep pada level yang berbeda-beda. Keterampilan-keterampilan di atas jarang diantisipasi dalam pembelajaran konvensional/tradisional Furinghetti (dalam Sumardyono, 2012) menyarankan suatu taksonomi penggunaan sejarah matematika dalam pembelajaran, sbb:
1.
Menginformasikan sejarah untuk mengubah image siswa tentang
matematika,
2.
Menggunakan sejarah matematika sebagai sumber masalah/soal,
3.
Menggunakan sejarah matematika sebagai aktivitas tambahan,
4.
Menggunakan sejarah matematika sebagai pendekatan alternatif
mengenalkan konsep matematika.
Menurut survei tersebut, kemampuan siswa-siswi Indonesia
mendududki peringkat bawah dengan skor 375, kurang dari 1% pelajar Indonesia
yang benar-benar memiliki kemampuan yang baik di pelajaran matematika ini. Ya,
itu adalah fakta yang cukup miris bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Hal ini bisa terjadi karena kesalahan pemahaman mengenai
matematika sehingga merubah pola pikir atau mindset seseorang mengenai
matematika, ketika seorang anak masih dalam tahap pendidikan dasar mereka telah
memiliki pemikiran bahwa matematiak itu sulit, membosankan dan sangat
memusingkan kepala, ini bisa terjadi kurangnya pemahaman siswa ketika di
sampaika sebuah materi pembelajaran dan ketidak pedulian guru mengenai apakah
siswa yang di ajarnya memehami materi yang telah di sampaikannya, bersikap cuek
dan tak mau tau apa kesushan yang di alami siswa. Karena menurut beberapa siswa
guru adalah salah satu faktor mengapa mereka malas mengikuti pelajaran
matematiaka, ketika seorang guru sudah berpenampilan seram, berprilaku cuek,
(killer) hal ini menambah kesan seram dan membosankan pelajaran matematiaka di dalam
kelas. Tidak sedikit siswa yang malah memilih bolos atau kabur ketika pelajaran
tersebut di adakan.
Untuk itulah sebagai calon tenaga pendidik (guru) khususnya
pendidikan matematika, kita di tuntut untuk menemukan akar masalah yang
menyebabkan siswa malas mengikuti pelajaran dan tidak tertarik dengan
matematika serta solusi apa yang seharusnya diterapkan agar siswa memiliki
minat terhadap matematika mengingat matematika adalah ilmu yang sangat penting,
berikut beberapa cara yang dapat di lakukan oleh calon tenaga pendidik (guru)
untuk merubah pola pikir (mindset) siswa agar memiliki rasa ingin tahu mengenai
matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar